Seperti apa penelitian kualitatif itu?
Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang relatif baru penerapannya di bidang kesehatan. Lima tahun yang lalu, di program S2 IKM Fakultas Kedokteran UGM sama sekali belum dikenal (dan diakui) penggunaan metode penelitian kualitatif, bahkan tidak dianjurkan tesis yang menggunakan metode penelitian kualitatif saja. Saat ini terjadi hal yang sebaliknya, dengan trend peningkatan penggunaan metode kualitatif yang dikombinasi dengan metode kuantitatif. Kecenderungan serupa terjadi di berbagai bidang kesehatan, sebagai contoh penelitian di bidang keperawatan.
Sebelum kita mempelajari lebih lanjut mengenai penelitian kualitatif, tentunya kita ingin terlebih dahulu mengetahui bagaimana yang disebut dengan penelitian kualitatif itu. Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu penelitian menggunakan penelitian kualitatif?
Terdapat beberapa ciri penelitian kualitatif yang dapat dengan mudah kita tangkap. Pertama, dari bentuk data dan penyajiannya, penelitian kualitatif berbicara mengenai kualitas. Data yang dihasilkan (dan disajikan) berbentuk kata-kata, ungkapan, narasi yang dikemukakan oleh subyek penelitian. Di lain pihak, penelitian kuantitatif dengan berbagai rancangan penelitiannya selalu bergelut dengan angka-angka. Penyajiannya didominasi dengan angka dan kadang berbagai uji statistik apabila penelitian bertujuan untuk menguji hipotesis. Simak contoh abstrak publikasi berikut ini.
Abstrak 1 merupakan contoh abstrak penelitian kualitatif yang dilakukan di 6 desa dengan cara wawancara dengan klien dan observasi tempat pelayanan. (Simak bahwa bentuk abstrak 1 berbeda dengan kedua abstrak lainnya. Abstrak 1 disusun secara terstruktur, yaitu menggunakan sub-sub judul dalam penulisan abstraknya, dan disebut dengan structured abstract. Cara ini mulai banyak disukai oleh karena informasi yang disajikan lebih lengkap dan digunakan di berbagai jurnal internasional). Abstrak 2 menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan rancangan eksperimental dan unit analisis sekolah. Abstrak terakhir menggunakan penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan rancangan penelitian cross-sectional survey untuk meneliti mengenai pengetahuan dan sikap remaja usia 15 tahun terhadap infeksi HIV dan orang yang terinfeksi HIV.
Abstrak 1: Family planning clinics through women's eyes and voices: a case study from Rural Bangladesh
Context: The voices and views of clients are an essential, but often neglected, aspect in initiatives to improve the quality of care provided by family planning and reproductive health programs.
Methods: In anticipation of an increased emphasis on clinic-based services in Bangladesh's national family planning program, a small qualitative study was undertaken in six villages in late 1996. In-depth interviews were conducted with 34 clients of six government and two non government clinics, and researchers spent one day at each clinic observing how providers and clients interacted.
Results: Hierarchical modes of interaction and poor communication dominated many of the encounters, and women had to beg for services in some clinics. Providers appeared to selectively apply interpersonal skills and common courtesy; rudeness to clients was not merely a reflection of ignorance, since the paramedics appeared to know the basic principles of counseling. Limited access to medication and often arbitrary ways of determining when to dispense it created suspicion and tension between providers and clients. Most clients expressed a willingness to overlook rude treatment, long waits and unhygienic conditions, saying that becausae they were poor, they could not expect better care and had no service alternatives.
Conclusions: Technical solutions, such as training in counseling, may not be enough to improve the quality of care provided in clinics in rural Bangladesg. Institutional policies, norms and incentives need to become more client-oriented if the transition from in-home delivery to clinics is to be a success (Schuler & Hossain, 1998).
Abstrak 2: Effectiveness of a social influence approach and boosters to smoking prevention
This paper presents the short-term and long-term results of a randomized smoking prevention trial. The purpose was to evaluate two smoking prevention programs, a social influence (SI) program and a SI program with an additional decision-making component (SIDM). Moreover, the contribution of boosters was assessed as well. Fifty-two schools were randomly assigned to the SI program, the SIDM program or a control group. Half of the treatment schools were randomly assigned to the booster condition: the other half did not receive boosters. Both programs consisted of five lessons, each lasting 45 min, and were given in weekly sessions in grades 8 and 9 of high schools in the Netherlands. The most successful program was the SI program with boosters which resulted in a significantly lower increase in smoking rates (5.6 and 9.7%, respectively) compared to the control group (12.6 and 14.9%, respectively) at both 12 and 18 months follow-up. The results suggest that boosters can be an effective tool for maintaining or increasing the effectiveness of smoking prevention programs. It is recommended that the SI program with the booster be implemented at the national level, since this intervention showed the greatest behavioural effects (Dijkstra et al, 1999).
Abstrak 3: Adolescents' knowledge and attitudes concerning HIV infection and HIV-infected persons: how a survey and focus group discussions are suited for researching adolscents' HIV/AIDS knowledge and attitudes.
The purpose of this article is to examine how two different corpora of material are suited for researching the sexuality of youth on the basis of material gathered via a structured questionnaire (N=1183), response rate 87%) and via eight focus group discussions (FGDs) and to investigate the knowledge and opinions of adolescents at the age of 15 years about HIV infection and HIV-infected persons. Both boys and girls showed a good level of knowledge about HIV infection and aAIDS. While their level of knowledge was good, their attitude was that the threat of an HIV infection was not a personal issue. Furthermore, negative attitudes to those having HIV/AIDS became more pronounced the more socially distant the infected person was to the respondent. The FGDs presented a more sceptical view of the attitudes of adolescents than the survey, while the knowledge about HIV infection and AIDS was the same regardless of the research method. In the FGDs, girls discussed the topics more extensively than boys, they used longer sentences, there was spontaneous discussion within the groups and the participants commented on each other's opinions. Boys were often content with short dischotomous responses and the interviewers had to qualify the responses with supplementary questions (Potsonen & Kontula, 1999).
Apabila kita menuju pada bagian cara atau metode penelitian suatu artikel, maka kita akan melihat ciri penelitian kualitatif yang kedua, yaitu dari jenis rancangan penelitiannya. Dilihat dari segi ada tidaknya perlakuan yang dilakukan oleh peneliti, rancangan penelitian yang banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif adalah rancangan eksperimental (dan kuasi eksperimental) dan non-eksperimental. Jenis rancangan yang termasuk dalam kategori non-eksperimental adalah rancangan cross-sectional survey, case-control, dan cohort (penelitian kuantitatif) atau rancangan kualitatif.Dalam penelitian kualitatif, seringkali dicantumkan pendekatan yang diacu seperti misalnya: penelitian antropologis, penelitian etnografis, fenomenologi, symbolic interactionism, dan grounded theory. Istilah-istilah ini mengkonfirmasi bahwa peneliti menggunakan penelitian kualitatif.
Ketiga, dari segi cara pengumpulan data dan alat pengumpulan data. Penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan tiga cara pengumpulan data utama, yaitu wawancara mendalam (in-depth interview), diskusi kelompok terarah (focus group discussion), atau observasi (observasi partisipasi atau observasi tidak terstruktur). Wawancara mendalam adalah cara pengumpulan data melalui wawancara, menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan terbuka, dan sebagian besar berbasis pada interaksi antara 1 pewawancara dengan 1 responden. Diskusi kelompok terarah (DKT) adalah pengumpulan data pada sekelompok responden (dengan demikian unit analisisnya adalah kelompok DKT, bukan individu peserta DKT), responden tersebut mempunyai ciri yang homogen dan sedapat mungkin tidak saling mengenal, serta berbasis pada kelompok. DKT ini berbeda dengan wawancara kelompok (group interview), terutama dari segi pelaksanaan pengumpulan data. Pada DKT terjadi banyak interaksi antar peserta DKT maupun antara fasilitator (pemandu) dan peserta DKT, sedangkan pada wawancara kelompok didominasi oleh interaksi antara pewawancara dengan masing-masing individu dalam kelompok. Hal ini terjadi oleh karena pada wawancara kelompok, jumlah individu biasanya lebih sedikit daripada DKT, sehingga interaksi antar individu kurang intensif. Cara pengumpulan data yang terakhir adalah observasi, dapat berupa observasi partisipasi (peneliti berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi subyek pengamatan) ataupun observasi tidak terstruktur. Dalam ketiga cara pengumpulan data di atas, peneliti kualitatif menggunakan pedoman wawancara, pedoman DKT dan pedoman observasi yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka.
Peneliti kuantitatif pada umumnya menggunakan kuesioner tertutup yang dapat diwawancarakan ataupun diisi sendiri oleh responden (self-administered). Apabila kuesioner harus diwawancarakan, peneliti dibantu oleh petugas pengumpul data (surveyor) yang telah dilatih sebelumnya. Alat pengumpul data lainnya adalah berupa diary (catatan harian) yang dapat diwawancarakan ataupun diisi sendiri. Contoh dalam survei gizi, responden diberi catatan harian yang berisi gambar berbagai makanan yang mungkin dikonsumsi sehari-harinya. Responden diminta untuk memilih jenis makanan mana yang dikonsumsi pada hari yang sama atau 1 hari sebelumnya, dan menunjukkan seberapa banyak makanan tersebut dikonsumsi. Contoh lain adalah catatan harian pada penelitian malaria yang berisi gejala dan tanda penyakit yang dialami oleh responden setiap harinya, sejak timbulnya gejala pertama. Juru malaria desa kemudian mengisi catatan harian tersebut secara retrospektif pada saat mengambil darah orang yang dicurigai menderita malaria (Utarini, 1999). Bentuk alat pengumpul data lainnya adalah ceklis, yang digunakan pada observasi terstruktur. Sebagai contoh, dalam suatu kegiatan audit medik secara concurrent, peneliti mengamati secara langsung hal-hal yang seharusnya ditanyakan atau dilakukan oleh petugas kesehatan menggunakan alat ceklis.
Dari ketiga hal di atas (yaitu bentuk data, rancangan dan cara pengumpulan data), kita sudah dapat mengatakan apakah suatu penelitian menggunakan penelitian kualitatif atau bukan. Bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut bisa terjadi? Apa yang mendasari perbedaan-perbedaan tersebut?
Cara pandang (paradigma) yang berbeda
Penelitian kuantitatif dan kualitatif mempunyai cara pandang yang berbeda. Ibaratnya, seseorang menggunakan kacamata yang berbeda untuk memandang suatu obyek. Penelitian kuantitatif menganut pada cara pandang positivistik, sedangkan penelitian kualitatif mengacu kepada paradigma naturalistik. Secara awam, istilah naturalistik dapat diinterpretasi dengan berbagai cara. Naturalistik dapat berarti berusaha memahami suatu fenomena atau kejadian secara alamiah (peneliti tidak memanipulasi kejadian tersebut), dan mengamati suatu kejadian yang terjadi secara alamiah (munculnya kejadian tersebut bukan oleh karena manipulasi peneliti) (Patton, 1990). Sebagai contoh untuk mengamati proses pelayanan di Unit Gawat Darurat suatu rumah sakit, peneliti akan mempunyai preferensi untuk menerapkan observasi tidak terstruktur dengan cara melakukan pengamatan di unit ini selama beberapa waktu atau mengikuti tim ambulans rumah sakit. Dengan demikian, peneliti dapat secara langsung memotret (bukan dalam arti mengambil dokumentasi foto!) proses pelayanan terhadap kasus kegawatdaruratan pada saat kejadian tersebut berlangsung. Dari segi peneliti, naturalistik juga berarti peneliti tidak memiliki kategori atau variabel yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mengamati suatu kejadian (pre-determined categories), sehingga lebih bersifat menemukan (discovering) hal-hal yang dapat diamati (Guba, 1978 dalam Patton, 1990). Interpretasi yang lain adalah bahwa peneliti juga menggunakan cara pengumpulan data yang natural, yaitu cara-cara yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi dengan orang lain (berbicara dengan orang lain, mendiskusikan sesuatu hal dalam kelompok, mengamati sesuatu). Perbedaan antara cara pandang positivistik dan naturalistik secara rinci diungkapkan oleh Lincoln dan Guba (1985) (Tabel 1).
Tabel 1. Perbedaan cara pandang positivistik dan naturalistik
Paradigma positivistik
|
Paradigma naturalistik
| |
Kenyataan itu....
|
Bersifat tunggal, tangible, dan terpisah
|
Bersifat multipel, dibuat, dan holistik
|
Hubungan antara peneliti dan yang diteliti
|
Independen, merupakan dualisme
|
Interaktif, tidak dapat dipisahkan
|
Kemungkinan generalisasi
|
Generalisasi dapat dilakukan tanpa memandang faktor waktu dan konteks
|
Selalu terikat waktu dan konteks
|
Kemungkinan hubungan sebab akibat
|
Ada penyebab yang nyata yang terjadi sebelum atau bersamaan dengan akibat
|
Berupa jaring sebab akibat (web of causation), yang seluruhnya saling berkaitan, sehingga sulit dipisahkan antara sebab dan akibat
|
Peran nilai
|
Penelitian bersifat value-free
|
Penelitian bersifat value-bound
|
Sumber: Lincoln and Guba, 1985
Luangkan waktu beberapa detik untuk melihat obyek pada gambar 1. Obyek apakah ini? (renungkan sejenak jawaban pertanyaan ini sebelum anda melanjutkan membaca). Obyek di atas dapat merepresentasikan huruf (yaitu huruf E, M ataupun W tergantung darimana anda melihatnya), angka (yaitu angka tiga), atau bahkan suatu obyek gambar (gambar rak buku dilihat dari samping atau gambar lainnya). Adakah satu jawaban yang benar? Jawabannya adalah tidak, tergantung sudut pandang mana yang dipilih dan semua jawaban bisa benar (Perhatikan bahwa hal ini tidak berarti bahwa hasil penelitian kualitatif selalu valid). Apabila kita melihatnya seperti posisi kita membaca tulisan ini, maka kita dapat mempertahankan validitas hasil penelitian kita, dengan mengatakan bahwa obyek yang kita amati adalah huruf E. Ilustrasi ini merupakan contoh sederhana bagaimana cara kita memandang suatu kenyataan. Ahli psikologi akan mengatakan bahwa kenyataan itu tidak mengikuti hukum "either … or…", akan tetapi "both …and …". Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita mengatakan bahwa "si A itu orangnya baik, tapi kalau si B sulit ditangkap apa maunya". Oleh karenanya, ketika kita menganggap seseorang itu positif, seolah-olah label ini berarti bahwa orang tersebut tidak mempunyai sifat yang negatif. Yang lebih obyektif (and less judgemental) adalah bahwa seseorang mempunyai baik karakter positif maupun negatif.
Bagaimana suatu realita itu terjadi juga menjadi perbedaan cara pandang positivist dan naturalist. Naturalist menganggap bahwa realita itu terjadi karena dibuat (dikonstruksi) oleh orang-orang yang membuat kenyataan tersebut. (Oleh karenanya salah satu cara untuk meningkatkan validitas data kualitatif pada saat proses pengumpulan data berlangsung adalah dengan mengumpanbalikkan data yang kita peroleh kepada para pembuat kenyataan tersebut atau subyek penelitian kita. Cara ini disebut member-checking.) Paradigma positivistik kemudian akan memilah-milah kenyataan tersebut menjadi apa yang disebut dengan variabel dependen, variabel independen, variabel moderator, variabel mediator dan sebagainya. Naturalistik beranggapan bahwa suatu kenyataan terjadi secara alamiah dan menyeluruh, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, untuk meneliti keharmonisan hubungan antara suami dan istri, faktor anak dapat dikendalikan (seperti halnya dalam penelitian kuantitatif) atau diceritakan keterkaitannya dengan keharmonisan hubungan tersebut.
Untuk meneliti suatu kejadian atau fenomena secara natural, diperlukan cara-cara pengumpulan data yang natural pula agar peneliti dapat berada sedekat mungkin (bukan dalam arti harafiah) dengan fenomena yang ingin diamati. Sebagai contoh untuk menanyakan kepuasan pasien terhadap pelayanan dokter di Puskesmas, dapat dilakukan point pengumpulan data berikut ini (gambar 2). Peneliti dapat menggunakan cara observasi atau observasi partisipasi pada saat kejadian berlangsung, atau menggunakan teknik wawancara terbuka pada saat pasien meninggalkan ruang periksa (atau menunggu obat), atau wawancara tertutup pada saat pasien meninggalkan Puskesmas (disebut exit poll interview atau exit poll survey) atau saat pasien berkunjung kembali ke Puskesmas. Untuk memahami suatu fenomena, seringkali dibutuhkan banyak interaksi antara peneliti dan yang diteliti. Hubungan yang interaktif ini berguna untuk memperkaya pemahaman peneliti akan fenomena dan konteks terjadinya fenomena tersebut, meyakinkan peneliti akan reliabilitas dan validitas data yang dikumpulkan (atau trustworthiness dalam bahasa penelitian kualitatif, artinya apakah data tersebut trustworthy atau worth to trust). Peran bias menjadi berbeda. Dalam penelitian kuantitatif, bias cenderung dihindari, dikendalikan atau diukur pengaruhnya, sedangkan dalam penelitian kualitatif bias tersebut dideskripsikan dan diceritakan bagaimana perannya dalam kaitannya dengan fenomena yang diteliti. Oleh karena hubungan antara peneliti dan yang diteliti merupakan hubungan yang intensif, hubungan tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas data yang diperoleh. Dengan demikian, sangatlah logis bila dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti berfungsi sebagai instrumen penelitian. (Maka dari itu jarang penelitian kualitatif yang menggunakan banyak asisten peneliti!. Untuk tingkat S2, saya sarankan agar pengumpulan data dilakukan sendiri atau maksimal dibantu oleh satu asisten yang sudah diketahui kemampuannya dalam penelitian kualitatif).
Pasien kontak dengan dokter (pada saat diperiksa)
| ||
Pasien keluar dari ruang periksa
| ||
Pasien meninggalkan Puskesmas
| ||
Pasien kembali ke rumah
| ||
Pasien menderita sakit (di rumah)
| ||
Pasien kembali menggunakan Puskesmas
|
Gambar 2. Kemungkinan saat pengumpulan data pada penelitian kepuasan pasien terhadap pelayanan dokter di Puskesmas
Oleh karena paradigma positivistik menganggap bahwa realita untuk dapat difragmentasi, maka fakta tertentu dapat dianggap sebagai penyebab yang ada sebelum terjadinya suatu akibat (temporal relationship, yaitu untuk suatu faktor dapat dikatakan sebagai penyebab, faktor tersebut harus terjadi atau dimiliki terlebih dahulu sebelum terjadinya akibat). Pada rancangan case-control misalnya, peneliti bahkan berusaha mengendalikan variabel tertentu untuk mengukur hubungan antara penyebab dan akibatnya. Hal ini bertentangan dengan pandangan naturalistik, yaitu bahwa kenyataan itu berisi fakta-fata (atau variabel) yang saling berinteraksi untuk membentuk suatu kesatuan. Oleh karenanya peneliti akan berusaha mendeskripsikan secara rinci (disebut thick description) interaksi-interaksi tersebut (web of causation).
Pada saat kita menyajikan hasil penelitian, baik itu penelitian kuantitatif ataupun kualitatif, seringkali kita mendapat pertanyaan yang berkaitan dengan generalisasi hasil penelitian. Sebagai contoh: Apakah sampel anda sudah mewakili populasi yang ingin diteliti (validitas eksternal)? Bias-bias apa yang mengganggu generalisasi hasil penelitian dari sampel ke populasi tempat sampel tersebut diambil? Dan sebagainya, dan sebagainya. Peneliti kualitatif pun tidak lepas dari pertanyaan-pertanyaan serupa. Yang menarik untuk diamati adalah bahwa ketika kita membaca hasil penelitian kuantitatif, kita mempunyai sikap seolah bahwa hasil penelitian tersebut tetap valid tanpa batasan waktu dan konteks. (Renungkan apakah suatu hasil penelitian kuantitatif masih tetap "benar" beberapa tahun kemudian? Apakah hasil penelitian yang dilakukan di sampel yang diambil dari populasi A dapat digeneralisasi ke populasi B? Jawabannya adalah belum tentu dan tidak.) Aspek yang lain adalah dari segi siapa yang berhak menyatakan bahwa hasil penelitiannya dapat digeneralisasi ke populasi. Pada penelitian kuantitatif, jawabannya jelas adalah peneliti sendiri. Bagaimana halnya dengan penelitian kualitatif? Saya melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat terhadap penyakit malaria dan program malaria di kabupaten Jepara, propinsi Jawa Tengah (Utarini, 1999). Siapa yang dapat menyatakan bahwa hasil dari penelitian di Jepara dapat digeneralisasi ke kabupaten Purworejo, propinsi Jawa Tengah? Apakah peneliti (saya) dapat menyatakan hal tersebut? Pernyataan bahwa "hasil penelitian di kabupaten Jepara dapat diterapkan di kabupaten Purworejo" hanya dapat dibuat oleh seseorang yang mengetahui konteks kabupaten Purworejo (dan yang berkaitan dengan masalah malaria) dengan baik. Apabila saya sendiri mempunyai pengalaman dan pemahaman yang baik tentang situasi di kabupaten Purworejo, maka saya pun dapat menyatakannya.
Yang terakhir, apakah seluruh proses penelitian (mulai dari perumusan masalah penelitian hingga penyusunan laporan dan penyajian hasil) dapat dijamin lepas dari hal-hal lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian (value-free)? Cara pandang kualitatif menyatakan bahwa setidaknya terdapat 5 hal yang dapat mempengaruhi suatu proses penelitian: 1) penelitian dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh peneliti, 2) penelitian dipengaruhi oleh paradigma mana yang akan diacu, 3) penelitian dipengaruhi oleh teori yang digunakan, 4) penelitian dipengaruhi oleh situasi (konteks) tempat dilakukannya penelitian; pada akhirnya 5) pengaruh nilai-nilai tersebut dapat bersifat reinforcing atau conflicting.
Dijkstra M, Mesters I, de Vries H, van Breukelen G, Parcel GS. Effectiveness of a social influence approach and boosters to smoking prevention. Health Education Research 1999; 14(6): 791-802.
Lincoln YS and Guba EG. Naturalistic inquiry. London: Sage Publications; 1985.
Patton MQ. Qualitative evaluation and research methods. 2ndedition. London: Sage Publications; 1990.
Potsonen R and Kontula O. Adolescents' knowledge and attitudes concerning HIV infection and HIV-infected persons: how a survey and focus group discussions are suited for researching adolescents' HIV/AIDS knowledge and attitudes. Health Education Research 1999; 14(4): 473-484.
Schuler SR and Hossain Z. Family planning clinics through women's eyes and voices: a case study from rural Bangladesh. International Family Planning Perspectives 1998; 24(4): 170-175&205.
Utarini A. Program evaluation of malaria control program: user-provider interaction in early detection and diagnosis. [A proposal for a doctoral research in Umea University]. Yogyakarta; 1999.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar yang baik dan jangan Spam